Sejarah perekaan Lambang_negara_Indonesia

Sebahagian rencana ini mengandungi kandungan menggunakan bahasa yang terlalu mengikuti baku negara tertentu hasil pengambilan semula sumber ditulis dari negara sedemikian sebagai asasnya. Anda diminta sunting semula kandungan rencana ini agar ia beristilah seimbang dan selaras serta jelas difahami umum dalam kalangan pengguna Bahasa Melayu yang lain menggunakan laman Istilah MABBIM kelolaan Dewan Bahasa dan Pustaka. Silalah membantu.
Kata nama khas dan petikan media tertentu (seperti daripada akhbar-akhbar atau dokumen rasmi) perlu dikekalkan untuk tujuan rujukan. Sumber perkamusan dari Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia juga disediakan.
Anda boleh rujuk: Laman PerbincangannyaDasar dan Garis Panduan WikipediaManual Menyunting

Setelah Perang Kemerdekaan Indonesia 1945–1949, disusul pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, pihak Republik Indonesia Serikat merasakan bahawa mereka patut ada jata negara tersendiri. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menilai dan memilih rekaan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah Indonesia.

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku "Bung Hatta Menjawab" untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rekaan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rekaan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari yang menampakkan "pengaruh Jepang". Setelah rekaan Hamid terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta dilangsungkan untuk menyempurnakan lagi rekaan sedia ada u. Mereka bertiga sepakat mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih bertulis cogan kata "Bhineka Tunggal Ika". Pada tanggal 8 Februari 1950, rekaan lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan kembali, karena adanya keberatan terhadap gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap terlalu bersifat mitologis.[2]

Sultan Hamid II kembali mengajukan rekaan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rekaan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rekaan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari 1950.[3] Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul" dan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.

Soekarno terus memperbaiki bentuk Garuda Pancasila. Pada tanggal 20 Mac 1950 Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis kembali rekaan tersebut; setelah sebelumnya diperbaiki antara lain penambahan "jambul" pada kepala Garuda Pancasila, serta mengubah posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semula di belakang pita menjadi di depan pita, atas masukan Presiden Soekarno. Dipercaya bahwa alasan Soekarno menambahkan jambul karena kepala Garuda gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle, jata Amerika Syarikat.[2] Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, iaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rekaan akhir Garuda Pancasila ini dibuatkan patung besar dari bahan perunggu berlapis emas yang disimpan dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional sebagai acuan, ditetapkan sebagai lambang negara Republik Indonesia, dan reka bentuknya tidak berubah hingga kini.